oleh : K.H. Abdullah Gymnastiar (Semoga Allah memuliakan beliau dan keluarga)
Adakah diantara kita yang merasa mencapai sukses hidup karena telah
berhasil meraih segalanya : harta, gelar, pangkat, jabatan, dan
kedudukan yang telah menggenggam seluruh isi dunia ini? Marilah kita
kaji ulang, seberapa besar sebenarnya nilai dari apa-apa yang telah kita
raih selama ini.
Di sebuah harian pernah diberitakan tentang penemuan
baru berupa teropong yang diberi nama telescope Hubble. Dengan teropong
ini berhasil ditemukan sebanyak lima milyar gugusan galaksi. Padahal
yang telah kita ketahui selama ini adalah suatu gugusan bernama galaksi
bimasakti, yang di dalamnya terdapat planet-planet yang membuat takjub
siapa pun yang mencoba bersungguh-sungguh mempelajarinya. Matahari saja
merupakan salah satu planet yang sangat kecil, yang berada dalam gugusan
galaksi di dalam tata surya kita. Nah, apalagi planet bumi ini sendiri
yang besarnya hanya satu noktah. Sungguh tidak ada apa-apanya
dibandingkan dengan lima milyar gugusan galaksi tersebut. Sungguh
alangkah dahsyatnya.
Sayangnya, seringkali orang yang merasa telah
berhasil meraih segala apapun yang dirindukannya di bumi ini - dan
dengan demikian merasa telah sukses - suka tergelincir hanya mempergauli
dunianya saja. Akibatnya, keberadaannya membuat ia bangga dan pongah,
tetapi ketiadaannya serta merta membuat lahir batinnya sengsara dan
tersiksa. Manakala berhasil mencapai apa yang diinginkannya, ia merasa
semua itu hasil usaha dan kerja kerasnya semata, sedangkan ketika gagal
mendapatkannya, ia pun serta merta merasa diri sial. Bahkan tidak jarang
kesialannya itu ditimpakan atau dicarikan kambing hitamnya pada orang
lain.
Orang semacam ini tentu telah lupa bahwa apapun yang
diinginkannya dan diusahakan oleh manusia sangat tergantung pada izin
Allah Azza wa Jalla. Mati-matian ia berjuang mengejar apa-apa yang
dinginkannya, pasti tidak akan dapat dicapai tanpa izin-Nya. Laa haula
walaa quwwata illaabillaah! Begitulah kalau orang hanya bergaul, dengan
dunia yang ternyata tidak ada apa-apanya ini.
Padahal, seharusnya kita bergaul hanya dengan Allah
Azza wa Jalla, Zat yang Maha Menguasai jagat raya, sehingga hati kita
tidak akan pernah galau oleh dunia yang kecil mungil ini. Laa khaufun
alaihim walaa hum yahjanuun! Samasekali tidak ada kecemasan dalam
menghadapi urusan apapun di dunia ini. Semua ini tidak lain karena
hatinya selalu sibuk dengan Dia, Zat Pemilik Alam Semesta yang begitu
hebat dan dahsyat.
Sikap inilah sesungguhnya yang harus senantiasa kita
latih dalam mempergauli kehidupan di dunia ini. Tubuh lekat dengan
dunia, tetapi jangan biarkan hati turut lekat dengannya. Ada dan
tiadanya segala perkara dunia ini di sisi kita jangan sekali-kali
membuat hati goyah karena toh sama pahalanya di sisi Allah. Sekali hati
ini lekat dengan dunia, maka adanya akan membuat bangga, sedangkan
tiadanya akan membuat kita terluka. Ini berarti kita akan sengsara
karenanya, karena ada dan tiada itu akan terus menerus terjadi.
Betapa tidak! Tabiat dunia itu senantisa
dipergilirkan. Datang, tertahan, diambil. Mudah, susah. Sehat, sakit.
Dipuji, dicaci. Dihormati, direndahkan. Semuanya terjadi silih berganti.
Nah, kalau hati kita hanya akrab dengan kejadian-kejadian seperti itu
tanpa krab dengan Zat pemilik kejadiannya, maka letihlah hidup kita.
Lain halnya kalau hati kita selalu bersama Allah.
Perubahan apa saja dalam episode kehidupan dunia tidak akan ada satu pun
yang merugikan kita. Artinya, memang kita harus terus menerus
meningkatkan mutu pengenalan kita kepada Allah Azza wa Jalla. Di antara
yang penting yang kita perhatikan sekiranya ingin dicintai Allah adalah
bahwa kita harus zuhud terhadap dunia ini. Rasulullah SAW pernah
bersabda, "Barangsiapa yang zuhud terhadap dunia, niscaya Allah
mencintainya, dan barangsiapa yang zuhud terhadap apa yang ada di tangan
manusia, niscaya manusia mencintainya."
Zuhud terhadap dunia bukan berarti tidak mempunyai
hal-hal yang bersifat duniawi, melainkan kita lebih yakin dengan apa
yang ada di sisi Allah daripada apa yang ada di tangan kita. Bagi
orang-orang yang zuhud terhadap dunia, sebanyak apapun yang dimiliki
sama sekali tidak akan membuat hati merasa tentram karena ketentraman
itu hanyalah apa-apa yang ada di sisi Allah.
Rasulullah SAW bersabda, "Melakukan zuhud dalam
kehidupan di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan bukan
pula memboroskan kekayaan. Zuhud terhadap kehidupan dunia itu ialah
tidak menganggap apa yang ada pada dirimu lebih pasti daripada apa yang
ada pada Allah." (HR. Ahmad, Mauqufan)
Andaikata kita merasa lebih tentram dengan sejumlah
tabungan di bank, maka berarti kita belum zuhud. Seberapa besar pun uang
tabungan kita, seharusnya kita lebih merasa tentram dengan jaminan
Allah. Ini dikarenakan apapun yang kita miliki belum tentu menjadi rizki
kita kalau tidak ada izin Allah.
Sekiranya kita memiliki orang tua atau sahabat yang
memiliki kedudukan tertentu, hendaknya kita tidak sampai merasa tentram
dengan jaminan mereka atau siapa pun. Karena, semua itu tidak akan
datang kepada kita, kecuali dengan izin Allah.
Orang yang zuhud terhadap dunia melihat apapun yang
dimilikinya tidak menjadi jaminan. Ia lebih suka dengan jaminan Allah
karena walaupun tidak tampak dan tidak tertulis, tetapi Dia Mahatahu
akan segala kebutuhan kita.jangan ukur kemuliaan seseorang dengan adanya
dunia di genggamannya. Sebaliknya jangan pula meremehkan seseorang
karena ia tidak memiliki apa-apa. Kalau kita tidak menghormati seseorang
karena ia tidak memiliki apa-apa. Kalau kita menghormati seseorang
karena kedudukan dan kekayaannya, kalau meremehkan seseorang karena ia
papa dan jelata, maka ini berarti kita sudah mulai cinta dunia.
Akibatnya akan susah hati ini bercahaya disisi Allah.
Mengapa demikian? Karena, hati kita akan dihinggapi
sifat sombong dan takabur dengan selalu mudah membeda-bedakan teman atau
seseorang yang datang kepada kita. Padahal siapa tahu Allah
mendatangkan seseorang yang sederhana itu sebagai isyarat bahwa Dia akan
menurunkan pertolongan-Nya kepada kita.
Hendaknya dari sekarang mulai diubah sistem
kalkulasi kita atas keuntungan-keuntungan. Ketika hendak membeli suatu
barang dan kita tahu harga barang tersebut di supermarket lebih murah
ketimbang membelinya pada seorang ibu tua yang berjualan dengan bakul
sederhananya, sehingga kita mersa perlu untuk menawarnya dengan harga
serendah mungkin, maka mulailah merasa beruntung jikalau kita
menguntungkan ibu tua berimbang kita mendapatkan untung darinya.
Artinya, pilihan membeli tentu akan lebih baik jatuh padanya dan dengan
harga yang ditawarkannya daripada membelinya ke supermarket. Walhasil,
keuntungan bagi kita justru ketika kita bisa memberikan sesuatu kepada
orang lain.
Lain halnya dengan keuntungan diuniawi. Keuntungan
semacam ini baru terasa ketika mendapatkan sesuatu dari orang lain.
Sedangkan arti keuntungan bagi kita adalah ketika bisa memberi lebih
daripada yang diberikan oleh orang lain. Jelas, akan sangat lain nilai
kepuasan batinnya juga.
Bagi orang-orang yang cinta dunia, tampak sekali
bahwa keuntungan bagi dirinya adalah ketika ia dihormati, disegani,
dipuji, dan dimuliakan. Akan tetapi, bagi orang-orang yang sangat
merindukan kedudukan di sisi Allah, justru kelezatan menikmati
keuntungan itu ketika berhasil dengan ikhlas menghargai, memuliakan, dan
menolong orang lain. Cukup ini saja! Perkara berterima kasih atau
tidak, itu samasekali bukan urusan kita. Dapatnya kita menghargai,
memuliakan, dan menolong orang lain pun sudah merupakan keberuntungan
yang sangat luar biasa.
Sungguh sangat lain bagi ahli dunia, yang segalanya
serba kalkulasi, balas membalas, serta ada imbalan atau tidak ada
imbalan. Karenanya, tidak usah heran kalau para ahli dunia itu akan
banyak letih karena hari-harinya selalu penuh dengan tuntutan dan
penghargaan, pujian, dan lain sebagainya, dari orang lain. Terkadang
untuk mendapatkan semua itu ia merekayasa perkataan, penampilan, dan
banyak hal demi untuk meraih penghargaan.
Bagi ahli zuhud tidaklah demikian. Yang penting kita
buat tatanan kehidupan ini seproporsional mungkin, dengan menghargai,
memuliakan, dan membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun.
Inilah keuntungan-keuntungan bagi ahli-ahli zuhud. Lebih merasa aman dan
menyukai apa-apa yang terbaik di sisi Allah daripada apa yang
didapatkan dari selain Dia.
Walhasil, siapapun yang merindukan hatinya bercahaya
karena senantiasa dicahayai oleh nuur dari sisi Allah, hendaknya ia
berjuang sekuat-kuatnya untuk mengubah diri, mengubah sikap hidup,
menjadi orang yang tidak cinta dunia, sehingga jadilah ia ahli zuhud.
"Adakalanya nuur Illahi itu turun kepadamu", tulis
Syaikh Ibnu Atho'illah dalam kitabnya, Al Hikam, "tetapi ternyata hatimu
penuh dengan keduniaan, sehingga kembalilah nuur itu ke tempatnya
semula. Oleh sebab itu, kosongkanlah hatimu dari segala sesuatu selain
Allah, niscaya Allah akan memenuhinya dengan ma'rifat dan
rahasia-rahasia."
Subhanallaah, sungguh akan merasakan hakikat
kelezatan hidup di dunia ini, yang sangat luar biasa, siapapun yang
hatinya telah dipenuhi dengan cahaya dari sisi Allah Azza wa Jalla.
"Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing (seorang hamba) kepada
cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki ..." (QS. An Nuur [24] : 35).
0 komentar:
Posting Komentar